[Muksalmina]
Assalamualaukum ww
Ustadz siapa saja wanita mahram yg haram dinikahi..?
JAWABAN:
[Mujawib: Rizki Maulana,DDM]
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
و اعلم ان المحرمات من النساء احدى وثلاثون. خمس امهات الام من النسب ومن الرضاع و ام الزوجة و ام الموطوءة بملك اليمين و ام الموطوءة بشبهة. و خمس بنات البنت من النسب و البنت من الرضاع و بنت الزوجة اذا دخل بالام و بنت الموطوءة بملك اليمين او بشبهة. و ست موطوآت موطوءة الاب بالنكاح و بملك اليمين و بشبهة و موطوءة الابن كذلك. وثلاث اخوات الاخت من النسب و من الرضاع و اخت الزوجة من جهة الجمع. و ثلاث خلات الخالة من النسب و من الرضاع و خالة الزوجة من جهة الجمع. و ثلاث عمات العمة من النسب و من الرضاع و عمة الزوجة من جهة الجمع. و ثلاث بنات اخ بنت الاخ من النسب و من الرضاع و بنت الاخ للزوجة من جهة الجمع. وثلاث بنات اخت بنت الاخت من النسب و بنت الاخت من الرضاع و بنت الاخت للزوجة من جهة الجمع. ويزاد على المذكورات الملاعنة فانها تحرم على الملاعن على التأبيد لخبر المتلاعنان لا يجتمعان ابدا
Perlu diketahui bahwa Ada 31 perempuan yang tidak diperbolehkan menikahinya menurut yang tertera dalam kitab Hasyiah Syarqawi 'ala Tahrir karangan Syaikh al-‘Allamah ‘Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi yaitu:
▪︎Lima orang Ibu, yaitu:
1) Ibu kandung
2) Ibu susu
3) Ibu istri
4) Ibu budak perempuan yang telah disetubuhi
5) Ibu perempuan yang diwatak secara syubhat
▪︎Lima anak perempuan, yaitu:
1) Anak kandung
2) Anak susu
3) Anak istri , apabila telah bersetubuh dengan ibunya
4) Anak budak perempuan yang telah disetubuhi
5) Ibu perempuan yang diwatak secara subhat
▪︎Enam perempuan yang disetubuhi, yaitu:
1) Perempuan yang disetubuhi oleh ayah dengan sebab nikah
2) Perempuan yang disetubuhi oleh ayah dengan sebab milik yamin(perbudakan)
3) Perempuan yang disetubuhi oleh ayah dengan sebab subhat
4) Perempuan yang disetubuhi oleh anak dengan sebab nikah
5) Perempuan yang disetubuhi oleh anak dengan sebab milik yamin (perbudakan)
6) Perempuan yang disetubuhi oleh anak dengan sebab subhat
▪︎Tiga orang saudari perempuan, yaitu:
1) Saudari kandung
2) Saudari sesusuan
3) Saudari perempuan istri (apabila dihimpunkan dalam masa yang sama)
▪︎Tiga khalah (bibi dari pihak ibu) yaitu:*
1) Bibi sekandung
2) Bibi sesusuan
3) Bibi istri (apabila dihimpunkan dalam masa yang sama)
▪︎Tiga a’mmatun (bibi dari pihak bapak ), yaitu:
1) Bibi sekandung
2) Bibi sesusuan
3) Bibi istri (apabila dihimpunkan dalam masa yang sama)
▪︎Tiga anak perempuan dari saudara laki², yaitu:
1) Anak perempuan saudara laki² sekandung
2) Anak perempuan saudara laki² sesusuan
3) Anak perempuan saudara laki² istri.
▪︎Tiga anak perempuan dari saudari perempuan, yaitu:
1) Anak perempuan saudari perempuan sekandung
2) Anak perempuan saudari perempuan sesusuan
3) Anak perempuan saudari perempuan istri
Sedangkan yang lain dari yang telah tersebut diatas adalah mula’anatun, karena haram terhadap si laki² yang telah menuduhnya berzina menikahinya yang dipahamikan dari hadis nabi Muhammad ﷺ
📚[Asy Syarqawi `ala tahrir. Juz. 2/ Hal. 216]
---------------------------------
[Mujawib: Kakang Ishadi Al-Asyi]
ADAPUN DALILNYA:
Firman Allah Swt dalam surat An nisa ayat 22_23:
قوله تعالى [وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا]
22) Dan janganlah kamu kawini wanita² yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22) hingga akhir ayat.
Allah mengharamkan istri² para ayah sebagai penghormatan buat mereka, dan memuliakan serta menghargai mereka agar janganlah istri² mereka dikawini (oleh anak² tirinya) Sehingga istri ayah diharamkan bagi seorang anak hanya setelah si ayah melakukan aqad nikah dengannya. Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati oleh semuanya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّار، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْرَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: لَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو قَيْس -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْلَتِ وَكَانَ مِنْ صَالِحِي الْأَنْصَارِ، فَخَطَبَ ابنَه قَيْسٌ امْرَأَتَهُ، فَقَالَتْ: إِنَّمَا أعُدُّكَّ وَلَدًا وَأَنْتَ مِنْ صَالِحِي قَوْمِكَ، وَلَكِنْ آتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْتَأْمِرُهُ. فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقالت: إِنَّ أَبَا قَيْسٍ تُوفِّي. فَقَالَ: "خَيْرًا". ثُمَّ قَالَتْ: إِنَّ ابْنَهُ قَيْسًا خَطَبَنِي وَهُوَ مِنْ صَالِحِي قَوْمِهِ. وَإِنَّمَا كُنْتُ أَعُدُّهُ وَلَدًا، فَمَا تَرَى؟ فَقَالَ لَهَا: "ارْجِعِي إِلَى بَيْتِكِ". قَالَ: فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ {وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ {إِلا مَا قَدْ سَلَفَ}
Ibnu Abu Hatim mengatakan: telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi’, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Siwar, dari Addi ibnu Sabit, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar yang menceritakan bahwa tatkala Abu Qais (yakni Ibnul Aslat, salah seorang yang saleh dari kalangan Ansar) meninggal dunia, anak lelakinya melamar bekas istrinya. Lalu si istri berkata: "Sebenarnya aku menganggapmu sebagai anak, dan engkau termasuk orang yang shaleh di kalangan kaummu. Tetapi aku akan datang terlebih dahulu kepada Rasulullah ﷺ, Istri Ibnu Aslat berkata: sesungguhnya Abu Qais telah meninggal dunia." Nabi ﷺ Bersabda: ”Baik." Si istri bertanya.”Sesungguhnya anak lelakinya (yaitu Qais) melamarku, sedangkan dia adalah seorang yang shaleh dari kalangan kaumnya, dan sesungguhnya aku menganggapnya sebagai anak. Bagaimanakah menurut pendapatmu?" Nabi ﷺ bersabda: "Kembalilah kamu ke rumahmu." Maka turunlah ayat berikut, yaitu firmanNya: Dan janganlah kamu kawini wanita² yang telah dikawini oleh ayah kalian. (An Nisa:22) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan; telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah sehubungan dengan firmanNya: Dan janganlah kalian kawini wanita² yang telah dikawini oleh ayah kalian, terkecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22) ia mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Qais ibnul Aslat yang meninggalkan Ummu Ubaidillah (yaitu Damrah). Di masa lalu Damrah adalah bekas istri ayahnya. diturunkan berkenaan dengan Al Aswad ibnu Khalaf yang mempunyai istri bekas istri ayahnya sendiri, yaitu anak perempuan At-Talhah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar. Juga diturunkan berkenaan dengan Fakhitah (anak perempuan Al-Aswad ibnul Muttalib ibnu Asad) yang dahulunya adalah istri Umayyah ibnu Khalaf. Setelah Umayyah ibnu Khalaf meninggal dunia, maka bekas istrinya itu dikawini oleh anak lelaki Umayyah (yaitu Safwan ibnu Umayyah). As-Suhaili menduga mengawini istri ayah (yakni ibu tiri) diperbolehkan di masa Jahiliah.
Karena itulah maka disebutkan di dalam firmanNya:
{إِلا مَا قَدْ سَلَفَ}
kecuali pada masa lampau.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firmanNya:
{وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ}
dan (diharamkan bagi kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (An-Nisa: 23).
As-Suhaili mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh Kinanah ibnu Khuzaimah; ia pernah kawin dengan bekas istri ayahnya, lalu dari perkawinannya itu lahirlah An-Nadr Ibnu Kinanah. As-Suhaili mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ, pernah bersabda:
"وُلِدتُ مِنْ نِكاحٍ لَا مِنْ سِفَاحٍ"
Aku dilahirkan dari hasil nikah, bukan dari sifah (perkawinan di masa Jahiliah).
As-Suhaili mengatakan, "Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan seperti itu diperbolehkan bagi mereka di masa Jahiliah, dan mereka menganggap hal tersebut sebagai suatu perkawinan."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Qurad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang² Jahiliah di masa lampau mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, kecuali istri ayah dan menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan. Maka Allah menurunkan firmanNya: Dan janganlah kalian kawini wanita yarg telah dikawini oleh ayah kalian. (An-Nisa: 22); dan (diharamkan bagi kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara. (An-Nisa: 23)
Hal yang sama dikatakan oleh Ata dan Qatadah.
Akan tetapi, apa yang dinukil oleh As-Suhaili sehubungan dengan kisah Kinanah masih perlu dipertimbangkan (kesahihannya).
Dengan alasan apa pun hal tersebut tetap diharamkan bagi umat ini dan merupakan perbuatan yang sangat keji. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا}
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk² jalan (yang ditempuh). (An-Nisa: 22)
Allah Swt. berfirman:
{وَمَقْتًا}
dan dibenci Allah. (An-Nisa: 22)
Yaitu dibenci, Dengan kata lain, perbuatan tersebut memang suatu dosa besar, yang akibatnya akan membuat si anak benci kepada ayahnya sesudah ia mengawini bekas istri ayahnya. Karena pada galibnya (pada umumnya) setiap orang yang mengawini seorang wanita janda selalu membenci bekas suami istrinya. Karena itulah maka Umma-hatul Mukminin (istri² Nabi ﷺ) diharamkan atas umat ini, karena kedudukan mereka sama dengan ibu dan karena mereka adalah istri² Nabi ﷺ yang kedudukannya sebagai bapak dari umat ini, bahkan hak Nabi ﷺ lebih besar daripada para ayah, menurut kesepakatan semuanya. Bahkan cinta kepada Nabi Saw. harus didahulukan di atas kecintaan kepada orang lain.
Ata ibnu Abu Rabbah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan dibenci Allah. (An-Nisa: 22) Maksudnya, perbuatan yang dibenci oleh Allah Swt. dan seburuk-buruk jalan. (An-Nisa: 22) Yakni merupakan jalan yang paling buruk bagi orang yang menempuhnya. Barang siapa yang melakukan perbuatan tersebut sesudah adanya larangan ini. berarti dia telah murtad dari agamanya dan dikenai hukuman mati serta hartanya menjadi harta fa'i diserahkan ke Baitul Mal.
Imam Ahmad dan ahlus sunan meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Al-Barra ibnu Azib, dari pamannya (yaitu Abu Burdah) menurut riwayat yang lain Ibnu Umar dan menurut riwayat yang lainnya lagi dari paman dari pihak ayahnya. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutusnya kepada seorang lelaki yang mengawini istri ayahnya sesudah ayahnya meninggal dunia. Perintah Nabi ﷺ menginstruksikan kepadanya untuk menghukum mati lelaki tersebut dan menyita harta bendanya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Asy'as, dari Aildi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan, "Pamanku bersua denganku, yakni Al-Haris ibnu Umair yang saat itu memimpin sejumlah pasukan yang kepemimpinannya diarahkan kepada pamanku." Maka aku bertanya.”Hai paman. ke manakah Nabi ﷺ mengutusmu?" Pamanku menjawab, "'Beliau mengutusku kepada seorang lelaki yang telah mengawini bekas istri ayahnya. Nabi ﷺ
memerintahkan kepadaku agar memancungnya.
(MASALAH)
Para ulama sepakat mengharamkan wanita yang pernah disetubuhi oleh seorang ayah, baik melalui nikah atau hamba sahaya (pemilikan) atau wati syubhat (persetubuhan secara keliru).
Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai wanita yang pernah digauli oleh ayah dengan syahwat. tetapi bukan persetubuhan; atau dipandangnya bagian² tubuh yang tidak halal bagi si ayah sekiranya wanita itu adalah wanita lain (bukan mahramnya)
[حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23)]
Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu² kalian; anak² kalian yang perempuan, saudara-saudara kalian yang perempuan, saudara² bapak kalian yang perempuan, saudara² ibu kalian yang perempuan, anak² perempuan dari saudara² lelaki kalian, anak² perempuan dari saudara² perempuan kalian, ibu² kalian yang menyusui kalian, saudara sepersusuan kalian, ibu² istri kalian (mertua) anak² istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagi kalian) istri² anak kandung kalian (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang mengharamkan mengawini wanita mahram dari segi nasab dan hal² yang mengikutinya, yaitu: karena sepersusuan dan mahram karena menjadi mertua, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi, dari Sufyan ibnu Habib, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Telah diharamkan bagi kalian tujuh wanita dari nasab dan tujuh wanita karena mertua (hubungan perkawinan)."Lalu ia membacakan firmanNya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu² kalian (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya ibnu Said, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Raja, dari Umair maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diharamkan tujuh orang karena nasab dan tujuh orang pula karena sihrun (kerabat karena perkawinan). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firmanNya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu² kalian; anak² kalian yang perempuan: saudara² kalian yang perempuan, saudara² bapak kalian yang perempuan: saudara² ibu kalian yang perempuan: anak² perempuan dari saudara laki² kalian: dan anak² perempuan dari saudara perempuan kalian ( An-Nisa: 23)
Mereka adalah mahram dari nasab.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil atas haramnya anak perempuan yang terjadi akibat air mani zina bagi pelakunya berdasarkan keumuman makna firmanNya: dan anak² perempuan kalian. (An-Nisa: 23)
Walaupun bagaimana keadaannya, ia tetap dianggap sebagai anak perempuan, sehingga pengertiannya termasuk ke dalam keumuman makna ayat. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
Menurut riwayat dari Imam Syafii, boleh mengawininya, mengingat anak tersebut bukan anak perempuannya menurut syara'. Sebagaimana pula ia (anak perempuan tersebut) tidak termasuk ke dalam pengertian firmanNya: Allah telah menyariatkan bagi kalian tentang pembagian pusaka. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11)
Dengan alasan apa pun ia tidak dapat mewaris menurut kesepakatan. Maka ia pun tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini (An-Nisa:23).
Firman Allah Swt.:
{وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ}
Dan ibu² kalian yang menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian. (An-Nisa: 23)
Sebagaimana diharamkan atas kamu mengawini ibu kamu yang telah melahirkanmu, maka diharamkan pula atas dirimu mengawini ibumu yang telah menyusukanmu.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah binti Abdur Rahman, dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
«إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ»
Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram sebagaimana mahram karena kelahiran.
Menurut lafadz Imam Muslim disebutkan:
"يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُم مِنَ النَّسَبِ"
Diharamkan karena persusuan hal² yang diharamkan karena nasab.
Sebagian kalangan ulama fiqih mengatakan bahwa semua hal yang diharamkan karena hubungan nasab. diharamkan pula karena hubungan persusuan, kecuali dalam empat gambaran. Sebagian dari mereka mengatakan enam gambaran. Semuanya itu disebutkan di dalam kitab² furu' (fiqih).
Akan tetapi, menurut penelitian disimpulkan bahwa tidak ada sesuatu pun dari hal tersebut yang dikecualikan, mengingat dijumpai persamaan sebagiannya dalam nasab, sedangkan sebagian yang lain sebenarnya diharamkan karena ditinjau dari segi kekerabatan karena nikah. Untuk itu, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan oleh hadis menurut kaedah asalnya.
Kemudian para imam berbeda pendapat mengenai bilangan penyusuan yang dapat menyebabkan mahram. Sebagian di antara mereka berpendapat, dinilai menjadi mahram hanya dengan penyusuan saja karena berdasarkan keumuman makna ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, dan diriwayatkan dari Ibnu Umar. Pendapat ini pulalah yang dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, dan Az-Zuhri.
Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak menjadikan mahram bila persusuan kurang dari tiga kali, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahih Muslin: melalui jalur Hasyim ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"لَا تُحرِّم المصةُ وَالْمَصَّتَانِ"
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
Qatadah meriwayatkan dari Abul Khalil, dari Abdullah ibnul Haris, dari Ummul Fadl yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
«لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ، وَالْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ»
Tidak menjadikan mahram sekali persusuan, dan (tidak pula) dua kali persusuan; juga sekali sedotan, serta tidak pula dua kali sedotan.
Menurut lafadz yang lain disebutkan:
"لَا تُحَرِّمُ الإمْلاجَة وَلَا الْإِمْلَاجَتَانِ"
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.
Hadits riwayat Imam Muslim.
Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Sur. Hadis ini diriwayatkan pula dari Ali, Siti Aisyah. Ummul Fadl, Ibnuz Zubair, Sulaiman ibnu Yasar. dan Sa'id ibnu Jubair.
Ulama lainnya berpendapat. tidak dapat menjadikan mahram persusuan yang kurang dari lima kali, karena berdasarkan kepada hadis yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Urwah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa dahulu termasuk di antara ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah firmanNya: Sepuluh kali persusuan yang telah dimaklumi dapat menjadikan mahram.Kemudian hal ini dimansukh oleh lima kali persusuan yang dimaklumi. Lalu Nabi ﷺ wafat, sedangkan hal tersebut termasuk bagian dari Al-Qur'an yang dibaca.
Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah hal yang semisal.
Di dalam hadits Sahlah (anak perempuan Suhail) disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan kepadanya agar menyusukan Salim maula Abu Huzaifah sebanyak lima kali persusuan.
Disebutkan bahwa Siti Aisyah selalu memerintahkan kepada orang yang menginginkan masuk bebas menemuinya agar menyusu lima kali persusuan kepadanya terlebih dahulu. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan murid²nya.
Kemudian perlu diketahui bahwa hendaknya masa persusuan harus dilakukan dalam usia masih kecil, yakni di bawah usia dua tahun, menurut pendapat jumhur ulama. Pembahasan mengenai masalah ini telah kami kemukakan di dalam surat Al-Baqarah, yaitu pada tafsir firmanNya:
[يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ]
Para ibu hendaklah menyusukan anak²nya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. (Al-Baqarah: 233)
Kemudian para ulama berselisih pendapat kemahraman akibat air susu dari pihak ayah persusuan. seperti yang dikatakan oleh kebanyakan penganut Imam yang empat dan lain²nya: ataukah persusuan mengakibatkan mahram hanya dari pihak ibu persusuan dan tidak merembet sampai kepada pihak ayah persusuan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf. Semuanya dihubungkan dengan masalah ini ada dua pendapat. Pembahasan masalah ini secara rinci hanya didapat pada kitab² fiqih.
Firman Allah Swt.:
[وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ]
ibu² istri kalian (mertua kalian); anak² istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya. (An-Nisa: 23)
Adapun mengenai mertua perempuan, ia langsung menjadi mahram begitu si lelaki mengawini anak perempuannya baik ia telah menggaulinya maupun belum menggaulinya.
Mengenai anak tiri perempuan (yakni anak istri), hukumnya masih belum dikatakan mahram sebelum orang yang bersangkutan menggauli ibunya. Jika si lelaki yang bersangkutan terlebih dahulu menceraikan ibunya sebelum digauli, maka diperbolehkan baginya mengawini anak perempuan bekas istrinya yang belum digauli itu. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (An-Nisa: 23)
Ketentuan ini hanya khusus bagi anak tiri saja. Akan tetapi, sebagian ulama memahami kembalinya damir kepada ummahat dan rabaib. Ia mengatakan bahwa tiada seorang pun dari istri dan tiada pula dari anak tiri dikatakan menjadi mahram hanya dengan sekadar melakukan akad nikah dengan salah seorangnya, sebelum si lelaki yang bersangkutan menggaulinya. Karena berdasarkan kepada firmanNya: tetapi jika kamu belum bercampur dengan mereka (salah seorang dari istri dan anak tirimu) itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (An-Nisa: 23)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi dan Abdul Alaa, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Jallas ibnu Amr, dari Ali r.a. sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu menceraikannya sebelum menggaulinya, apakah si lelaki yang bersangkutan boleh mengawini ibu si wanita itu? Ali r.a menjawab bahwa ibu si wanita itu sama kedudukannya dengan rabibah (anak tiri perempuan).
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Yahya. dari Qatadah. dari Said ibnul Musayyab, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum mengaulinya. tidak ada dosa baginya jika ia mengawini ibu bekas istrinya itu."
Menurut riwayat yang lain, dari Qatadah, dari Sa’id, dari Zaid ibnu Sabit, ia pernah mengatakan, "Apabila si istri mati dan si suami menerima warisannya, maka makruh baginya menggantikannya dengan ibunya. Tetapi jika si suami terlebih dahulu menceraikannya sebelum menggaulinya. jika ia suka boleh mengawini ibunya"
Ibnul Mundzir mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Abdur Razzaq, dan Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Abu Bakar ibnu Hafs telah menceritakan kepadanya dari Muslim ibnu Uwaiinir Al-Ajda", bahwa Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang wanita di Taif. Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, "Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak." Ayahku berkata (kepadaku), "Maukah engkau mengawini ibunya?" Bakr ibnu Kinanah mengatakan. Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah tersebut. Ternyata ia berkata, 'Kawinilah ibunya!'." Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia menjawab, "Jangan kamu kawini dia." Setelah itu aku ceritakan apa yang dikatakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis surat kepada Mu'awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh keduanya. Mu'awiyah menjawab, "Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut, karena wanita selainnya cukup banyak." Dalam jawabannya itu Mu'awiyah tidak melarang tidak pula mengizinkan aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sammak ibnul Fadl, dari seorang lelaki, dari Abdulllah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa rabibah (anak tiri) dan ibunya sama saja, boleh dinikahi salah satunya jika lelaki yang bersangkutan masih belum menggauli istrinya. Akan tetapi di dalam sanad riwayat ini terkandung misteri.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah ibnu Kalid (Khalid), bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firmanNya: ibu² istri kalian (mertua), dan anak² istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Makna yang dimaksud ialah bila menggauli kedua²nya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnuz Zubair, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibnu Abbas. Sedangkan Mu’awiyah bersikap abstain (diam) dalam masalah ini.
Orang² dari kalangan madzhab Syafii yang berpendapat demikian ialah Abul Hasan Ahmad As-Sabuni menurut apa yang dinukil oleh Imam Rafi'i dari Al-Abbadi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang semisal, tetapi setelah itu ia mencabut kembali pendapatnya.
Imam Tabrani mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Duburi. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Abu Farwah. dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Ibnu Mas'ud, bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Kamakh dari Fazzarah mengawini seorang wanita. lalu ia melihat ibu istrinya dan ternyata menyukainya. Kemudian lelaki itu meminta fatwa Ibnu Mas'ud, maka Ibnu Mas'ud memerintahkan kepadanya agar segera menceraikan istrinya, lalu boleh kawin dengan ibu istrinya. Dari perkawinan itu ia memperoleh banyak anak. Kemudian Ibnu Mas'ud datang ke Madinah, dan ada orang yang menanyakan masalah tersebut. maka ia mendapat berita bahwa hal tersebut tidak halal. Ketika ia kembali ke Kufah. berkatalah ia kepada lelaki tadi, "Sesungguhnya istrimu itu haram bagimu." lalu si lelaki menceraikan istrinya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rabibah tidak menjadikan mahram hanya karena melakukan aqad nikah dengan ibunya. lain halnya dengan ibu; sesungguhnya rabibah langsung menjadi mahramnya setelah ia melakukan akad nikah dengan ibunya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Haain ibnu Urwah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan. apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum ia menggauli (mencampuri)nya, atau si istri meninggal dunia (sebelum sempat ia menggaulinya), maka ibu istrinya tidak halal baginya.
Menurut riwayat yang lain, Ibnu Abbas pernah mengatakan, "'Sesungguhnya masalah ini masih misteri." Maka ia memutuskan sebagai hal yang makruh.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Imran ibnu Husain, Masaiq, Tawus, Ikrimah. Ata, Al-Hasan, Makhul, Ibnu Sirin, Qatadah, dan Az-Zuhri hal yang semisal.
Pendapat inilah yang dianut oleh madzhab yang empat dan ulama fiqih yang tujuh orang, serta kebanyakan ulama fiqih, baik yang dahulu maupun yang sekarang.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah ibu (mertua) termasuk masalah yang mubham (misteri), karena sesungguhnya Allah tidak mensyaratkan adanya persetubuhan dengan mereka (ibu-ibu mertua). Lain halnya dengan masalah ibu-ibu anak tiri perempuan, dalam masalah ini persyaratan adanya persetubuhan ditetapkan.
Menurut kesepakatan hujah yang tidak dapat dibantah lagi, ditetapkan hal yang sama (yaitu adanya syarat bersetubuh).
Telah diriwayatkan pula suatu hadis yang berpredikat garib mengenai hal tersebut dan di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadis itu adalah apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Ibnul Musanna:
حَدَّثَنَا حِبَّانُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا الْمُثَنَّى بْنُ الصَّبَّاحِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جده عن النبي صلىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا نَكَحَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ أُمَّهَا، دُخِلَ بِالْبِنْتِ أَوْ لَمْ يُدْخَلَ، وَإِذَا تَزَوَّجَ الْأُمَّ فَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَإِنْ شَاءَ تَزَوَّجَ الِابْنَةَ
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ, yang telah bersabda: Apabila seorang lelaki mengawini seorang wanita, maka tidak halal baginya mengawini ibu wanita itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum menggaulinya. Dan apabila ia kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan menceraikannya, maka jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadis ini sekalipun di dalam sanad-nya terkandung sesuatu yang perlu dipertimbangkan
sesungguhnya menurut kesepakatan hujah menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah dianggap cukup tanpa mengambil dalil dari selainnya dan tanpa bergantung kepada kesahihan hadis tersebut.
Adapun mengenai firmanNya:
{وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ}
anak² istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu. (An-Nisa: 23)
Menurut pendapat jumhur ulama anak tiri hukumnya haram dinikahi, tanpa memandang apakah anak tersebut berada dalam pemeliharaan lelaki yang bersangkutan ataupun tidak. Mereka mengatakan bahwa khitab seperti ini dinamakan ungkapan yang memprioritaskan umum, dan tidak mengandung hukum pengertian apa pun. Perihalnya sama dengan firmanNya:
{وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا}
Dan janganlah kalian paksa budak² kalian melakukan pelacuran. Sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Ummu Habibah pernah berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ -وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ: عَزَّةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ-قَالَ: "أَوْ تُحِبِّينَ ذَلِكَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، لَسْتُ لَكَ بمُخْليَة، وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي. قَالَ: "فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَحل لِي". قَالَتْ: فَإِنَّا نُحَدثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ. قَالَ بنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ؟ " قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ: إِنَّهَا لَوْ لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حِجْرِي مَا حَلَّتْ لِي، إِنَّهَا لَبِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَة فَلَا تَعْرضْن عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ". وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: "إِنِّي لَوْ لَمْ أَتَزَوَّجْ أُمَّ سَلَمَةَ مَا حَلَّتْ لِي"
"Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku. yaitu anak perempuan Abu Sufyan." Menurut lafaz Imam Muslim yang dimaksud adalah Izzah binti Abu Sufyan, Nabi ﷺ menjawab, "Apakah kamu suka hal tersebut?" Ummu Habibah menjawab, "Ya. Aku tidak akan membiarkanmu, dan aku ingin agar orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri." Nabi ﷺ Menjawab: ”Sesungguhnya hal tersebut tidak halal bagiku." Ummu Habibah berkata. "Sesungguhnya kami para istri sedang membicarakan bahwa engkau bermaksud akan mengawini anak perempuan Abu Salamah." Nabi ﷺ bertanya: Anak perempuan Ummu Salamah?" Ummu Habibah menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda: Sesungguhnya dia jikalau bukan sebagai rabibah yang ada dalam pemeliharaanku, ia tetap tidak halal (dikawin) olehku. Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Suwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku anak² perempuan kalian, jangan pula saudara² perempuan kalian. Menurut riwayat Imam Bukhari disebutkan seperti berikut: Sesungguhnya aku sekalipun tidak mengawini Ummu Salamah, ia (anak perempuan Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.
Dalam hadis ini kaitan pengharaman dihubungkan dengan perkawinan beliau ﷺ dengan Ummu Salamah, dan memutuskan hukum sebagai mahram hanya dengan penyebab tersebut.
Hal inilah yang dipegang oleh empat orang Imam dan tujuh orang ulama fiqih serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
Memang ada suatu pendapat yang mengatakan tidak ada faktor yang menyebabkan rabibah menjadi mahram kecuali jika si rabibah berada dalam pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada dalam pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu Rifa’ah, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan, "Dahulu aku mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan sebelum itu ia telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya. Ketika Ali ibnu Abu Talib bersua denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?' Aku menjawab, 'Istriku telah meninggal dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia punya anak perempuan?' Aku menjawab, 'Ya, dan tinggal di Taif.' Ali bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada dalam pemeliharaanmu?' Aku menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif." Ali berkata, 'Kawinilah dia'. Aku berkata, 'Bagaimanakah dengan firmanNya yang mengatakan: anak² istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23). Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam pemeliharaanmu. Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu'."
Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu."
Sanad asar ini kuat dan kukuh hingga sampai kepada Ali ibnu Abu Talib dengan syarat Muslim. Akan tetapi Pendapat ini garib (aneh) sekali. Pendapat inilah yang dipegang oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri dan semua muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i. Dipilih oleh Ibnu Hazm.
Guruku Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi menceritakan kepadaku bahwa masalah ini pernah diajukan kepada Imam Taqi’ud Din Ibnu Taimiyyah, maka dia menganggap masalah ini sulit dipecahkan dan ia bersikap diam terhadapnya.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al-Asram, dari Abu Ubaidah sehubungan dengan firmanNya: yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Yakni di dalam rumah-rumah kalian.
Sehubungan dengan rabibah dalam kasus milkul yamin (budak perempuan yang diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua²nya adalah budak, kemudian salah seorang digauli sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah Umar berkata, "Aku tidak suka memperbolehkan keduanya digauli." ia bermaksud bahwa ia tidak mau menggauli keduanya lewat milkul yamin. Asar ini munqati'.
Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah seorang lelaki boleh menggauli seorang wanita dan anak perempuan yang kedua²nya adalah budak miliknya?" Ia menjawab.”Keduanya dihalalkan oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat yang lain dan aku tidak akan melakukan hal tersebut."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi seorang lelaki menggauli seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua²nya dari milkul yamin (budak perempuan). Karena sesungguhnya Allah Swt. mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui firmanNya: ibu² istri kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23) Milkul Yamin menurut mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak pernah diikuti oleh seorang imam pun dari kalangan ulama ahli fatwa, tidak pula selain mereka.
Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak perempuan rabibah dan anak perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak (digauli secara bersamaan) di kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, dari Abul Aliyah.
Makna firman-Nya:
{اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ}
dari istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23)
Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain²nya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata. bahwa yang dimaksud dengan dukhlah ialah bila si istri menyerahkan dirinya dan si suami membuka serta meraba² dan duduk di antara kedua pangkal pahanya. Aku bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki melakukan hal itu di rumah keluarga istrinya?" Ata menjawab, "Sama saja. hal itu sudah cukup membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya."
Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama khalwat seorang lelaki dengan istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan si istri bagi si lelaki. jika si lelaki ternyata menceraikan istrinya sebelum mencampuri dan menyetubuhinya.
Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang kemaluan si istri dengan nafsu berahi tertentu yang menunjukan pengertian bahwa si lelaki telah sampai kepada istrinya melalui jimak (hal ini cukup menjadikan mahram anak perempuan istri bagi si suami).
Firman Allah Swt.:
{وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ}
dan istri² anak kandung kalian (menantu)
Maksudnya diharamkan bagi kalian mengawini istri-istri anak kalian yang lahir dari tulang sulbi kalian (anak kandung). Hal ini untuk mengecualikan anak angkat yang biasa digalakkan di masa Jahiliah. Seperti yang disebutkan di dalam firmanNya:
فَلَمَّا قَضى زَيْدٌ مِنْها وَطَراً زَوَّجْناكَها لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْواجِ أَدْعِيائِهِمْ
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri² anak² angkat mereka. (Al-Ahzab: 37), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata mengenai makna firmanNya: dan istri² anak kandung kalian. (An-Nisa: 23) Kami pernah menceritakan "hanya Allah yang lebih mengetahui" bahwa ketika Nabi ﷺ mengawini istri Zaid, orang² musyrik di Mekah memperbincangkan hal tersebut. Maka Allah menurunkan firmanNya: dan istri² anak kandung kalian. (An-Nisa: 23); dan Dia tidak menjadikan anak² angkat kalian sebagai anak kandung kalian. (Al-Ahzab: 4); Turun pula firmanNya: Muhammad itu sekali² bukanlah bapak dari seorang laki² di antara kalian. (Al-Ahzab: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, dari Al-Asy'as, dari Al-Hasan ibnu Muhammad, bahwa ayat² berikut mengandung makna yang mubham (tidak jelas), yaitu firmanNya: dan istri² anak kandung kalian (An-Nisa: 23) serta firmanNya: ibu² istri kalian (mertua). (An-Nisa: 23)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Makhul hal yang semisal.
Menurut kami, makna mubham maksudnya umum mencakup wanita yang telah digauli dan yang belum digauli; maka hal tersebut menjadikan mahram hanya sekadar melakukan aqad nikah dengannya. Hal inilah yang telah disepakati.
Jika dikatakan bahwa dari segi apakah menjadi mahram istri anak sepersusuannya, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Tetapi sebagian ulama meriwayatkan masalah ini sebagai suatu ijma', padahal dia bukan dari tulang sulbinya (bukan anak kandung sendiri).
Sebagai jawabannya dapat dikemukakan sabda Nabi ﷺ yang mengatakan:
"يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ".
Diharamkan karena rada (persusuan) hal² yang diharamkan karena nasab
Firman Allah Swt.:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau. (An-Nisa: 23). hingga akhir ayat.
Diharamkan atas kalian menghimpun dua orang wanita yang bersaudara dalam suatu perkawinan. Hal yang sama dikatakan pula sehubungan dengan milkul yamin (yakni terhadap budak perempuan). Kecuali apa yang telah terjadi di masa Jahiliah, maka Kami memaafkan dan mengampuninya.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menggabungkan dua wanita yang bersaudara di masa mendatang. karena dikecualikan oleh ayat hal² yang telah terjadi di masa silam. Pengertiannya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firmanNya:
{لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلا الْمَوْتَةَ الأولَى}
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama (ketika di dunia). (Ad-Dukhan: 56)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan merasakan mati lagi di dalamnya untuk selama²nya (yakni mereka hidup kekal di dalamnya).
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam baik yang terdahulu maupun yang sekarang sepakat bahwa diharamkan menghimpun dua wanita yang bersaudara dalam perkawinan. Barang siapa yang masuk Islam, sedangkan dia mempunyai dua orang istri yang bersaudara, maka ia diharuskan memilih salah satunya saja dan menceraikan yang lainnya, tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb Al-Jusyani, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika masuk Islam, ia dalam keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara. Maka Nabi ﷺ memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya.
Kemudian Imam Ahmad, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Daud dan Imam Tumiuzi mengetengahkannya pula melalui hadis Yazid ibnu Abu Habib, keduanya menerima hadits ini dari Abu Wahb Al-Jusyani Imam Turmuzi mengatakan bahwa Aba Wahb nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya' dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, dari ayahnya dengan lafadz yang sama.
Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Imam Tumiuzi. lalu Nabi ﷺ bersabda:
"اخْتَرْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ"
Pilihlah salah seorang di antara keduanya yang kamu sukai.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْخَوْلَانِيُّ حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي فَرْوة عَنْ رُزَيق بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، عَنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ تَحْتِي أُخْتَيْنِ؟ قَالَ: "طَلق أَيَّهُمَا شِئْتَ"
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Khaulani. telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, dari Ishaq ibnu Abdullah ibnu Abu Farwah, dari Zur ibnu Hakim, dari Kasir ibnu Murrah. dari Ad-Dailami yang menceritakan: Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai istri dua wanita yang bersaudara." Beliau bersabda: "Ceraikanlah salah seorangnya yang kamu kehendaki."
Ad-Dailami yang disebut pertama adalah Ad-Dahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, seorang sahabat. Dia termasuk salah seorang amir di Yaman yang mendapat tugas untuk membunuh Al-Aswad Al-Anasai, seseorang yang mengaku dirinya menjadi nabi: semoga Allah melaknatnya.
Menghimpun dua wanita bersaudara ke dalam milkul yamin hukumnya haram berdasarkan keumuman makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Abu Anabah atau Atabah, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan, maka Ibnu Mas'ud tidak menyukai hal tersebut. Si penanya mengemukakan kepadanya firman Allah Swt. yang mengatakan: Kecuali budak² yang kamu miliki. (An-Nisa: 24) Maka Ibnu Mas'ud r.a berkata, "Ternak untamu termasuk apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (milkul yaminmu)."
Demikianlah pendapat terkenal dari kebanyakan ulama dan empat orang Imam serta lainnya, sekalipun sebagian ulama Salaf ada yang tidak menanggapi masalah ini (tawaqquf).
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab. dari Qubaisah ibnu Zuaib, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Khalifah Usman ibnu Affan tentang dua wanita bersaudara dalam milkul yamin, apakah keduanya boleh dihimpun (yakni boleh digauli)? Maka Khalifah Usman menjawab, "Keduanya dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain, tetapi aku sendiri tidak berani melarang hal tersebut." Lelaki itu keluar dari hadapan Usman r.a., lalu bersua dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ ia bertanya kepadanya tentang masalah itu, kemudian sahabat Nabi ﷺ berkata: "Seandainya dirinya mempunyai kekuasaan. lalu ia menjumpai seseorang melakukan hal tersebut. niscaya ia benar² akan menghukumnya." Imam Malik mengatakan: Menurut Ibnu Syihab, yang dimaksud dengan lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ itu adalah Ali ibnu Abu Talib." Imam Malik mengatakan, "Telah sampai kepadaku hal yang semisal dari Az-Zubair ibnul Awwam."
Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam kitab Istizkar, sebenarnya Qubaisah ibnu Zuaib sengaja menyebut nama seorang le!aki dari sahabat Nabi ﷺ, tanpa menyebut nama jelasnya yang sebenarnya adalah Ali ibnu Aba Talib tiada lain karena ia adalah pengikut Abdul Malik ibnu Marwan (yang tidak suka kepada Ali ibnu Abu Talib). Mereka merasa keberatan bila menyebut nama Ali ibnu Abu Talib r.a dengan sebutan yang jelas.
Kemudian Abu Umar mengatakan, telah menceritakan kepadaku Khalaf ibnu Ahmad secara qiraah, bahwa Khalaf ibnu Mutarrit pernah menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman dan Sa'id ibnu Sulaiman serta Muhammad ibnu Umar ibnu Lubabah; mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, dari Musa ibnu Ayyub Al-Gafiqi, telah menceritakan kepadaku pamanku has ibnu Amir yang mengatakan, "Aku pernah berkata kepada Ali ibnu Abu Talib. Untuk itu aku katakan, 'Aku mempunyai dua saudara perempuan di antara budak² wanita yang kumiliki, lalu aku mempergundik salah seorangnya dan ia melahirkan untukku banyak anak. Kemudian aku senang kepada saudara perempuannya, apakah yang harus aku lakukan?' Ali ibnu Abu Talib r.a menjawab. 'Kamu merdekakan budak wanita yang telah kamu campuri itu. kemudian kamu boleh menggauli yang lainnya." Aku berkata, "Akan tetapi. orang² (para ulama) mengatakan bahwa aku boleh mengawininya dan menggauli yang lainnya." Ali ibnu Abu Talib berkata, 'Bagaimanakah menurutmu jika ia diceraikan oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia, bukankah ia pasti kembali kepadamu? Sesungguhnya kamu memerdekakannya adalah jalan yang lebih selamat bagimu.' Kemudian Ali memegang tanganku dan berkata kepadaku, 'Sesungguhnya diharamkan atas kamu terhadap budak² milikmu hal² yang diharamkan di dalam Kitabullah terhadap wanita² merdeka, kecuali poligami.' Atau Ali mengatakan, "Kecuali empat orang istri. dan diharamkan pula atas dirimu sehubungan dengan masalah persusuan hal² yang diharamkan di dalam Kitabullah sehubungan dengan nasab."
Kemudian Abu Umar berkata bahwa asar ini merupakan hasil jerih payah perjalanan seorang lelaki. Dia tidak memperoleh dari kawasan Magrib yang terjauh dan Masyriq sampai ke Mekah kecuali hanya asar ini, yaitu ketika unta kendaraannya tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan pula dari Ali dari Usman.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Abbas, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnul Mubarak Al-Makhrami, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Talib pernah berkata kepadaku, "Keduanya diharamkan oleh satu ayat dan dihalalkan oleh ayat yang lain," yakni masalah kedua wanita yang bersaudara tadi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka mengharamkan aku untuk mendekatkan diri dengan mereka, tetapi mereka tidak mengharamkan pendekatan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yaitu para hamba sahaya wanita. Dahulu orang² Jahiliah mengharamkan semua hal yang kalian haramkan kecuali istri ayah (ibu tiri) dan menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan. Setelah Islam datang, maka Allah menurunkan firmanNya: Dan janganlah kalian kawini wanita² yang telah dikawini oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22)
Firman Allah Swt. yang mengatakan: dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (An-Nisa: 23) Yakni dalam pernikahan.
Selanjutnya Abu Umar mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Hambal telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Hisyam. dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa diharamkan terhadap budak² wanita hal² yang diharamkan terhadap wanita² merdeka, kecuali bilangan (poligami).
Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Asy-Sya'bi hal yang semisal.
Abu Umar mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dengan perkataan Khalifah Usman dari segolongan ulama Salaf, antara lain Ibnu Abbas. Akan tetapi, pendapat mereka berbeda dan tiada seorang pun dari kalangan ulama fiqih kota² besar, Hijaz, Irak, dan semua negeri Timur yang ada di belakangnya serta negeri Syam dan negeri Magrib (Barat), kecuali orang yang berpendapat menyendiri dari jamaahnya karena mengikut kepada makna lahiriah dan meniadakan qiyas (analogi). Orang yang mengamalkan demikian secara terang²an harus dikucilkan bila kita berkumpul dengannya.
Jamaah ulama fiqih sepakat, tidak halal menghimpun dua wanita bersaudara dengan menyetubuhi keduanya melalui milkul yamin, sebagaimana hal tersebut tidak dihalalkan dalam nikah.
Ulama kaum muslim sepakat bahwa makna firmanNya: Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu² kalian, anak² perempuan kalian, dan saudara² perempuan kalian. (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat. Bahwa nikah dan milkul yamin terhadap mereka (yang disebut di dalam ayat ini) sama saja (ketentuan hukumnya). Demikian pula halnya merupakan suatu keharusan ketentuan hukum ini berlaku secara rasio dan analogi terhadap masalah menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan serta masalah ibu² istri dan anak² tiri. Demikianlah pendapat yang berlaku di kalangan jumhur ulama, dan pendapat ini merupakan suatu hujah yang mematahkan alasan orang² yang berpendapat menyendiri dan berbeda.
📚[Tafsir ibnu katsir. Juz. 1/ Hal. 424_429]
![]() |
Asy-Syarqawi 'ala tahrir |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar